Showing posts with label fooding. Show all posts
Showing posts with label fooding. Show all posts

Thursday, 30 August 2007

carnet d'adresse : Japanese Touch in Paris (updated)



Setelah membahas tentang sindroma paris di postingan sebelumnya sekarang saya mau cerita tentang sentuhan jepang di ibukota Perancis.

Paris di bulan Agustus adalah Paris yang sepi. Tapi saking sepinya bosenin deh ah, soalnya banyak toko yang tutup, karena pemilik dan pegawainya pada sibuk liburan (untung agustus udah mau berakhir). Yah, memang orang Perancis emang paling demen liburan di bulan Agustus (warisan jaman dulu). Anehnya, kebiasaan ini menular kepada orang Jepang yang tinggal di Paris, mereka juga jadi ikut-ikutan meliburkan diri. Sesuatu yang aneh karena mereka sangat terkenal dengan etos kerja yang tinggi, dan merasa cukup dengan memiliki waktu libur 12 hari dalam setahun.

Saya suka masakan jepang. Banyak orang menganggap masakan jepang kurang berbumbu, tapi menurut saya, di sini lah seninya, masakan jepang begitu halus. Untuk saya yang belum pernah ke Jepang, rasanya susah juga ya bilang, mana masakan jepang yang enak mana yang enggak, mana yang punya cita rasa asli, walau kadang-kadang di Jakarta atau di Bali, saya pernah juga masuk restaurant di mana yang masak orang Jepang asli. Dan rasanya sih ya enak-enak aja, terlepas dari apakah ini cita rasa jepang asli atau bukan.

Tapi memang seringkali, saya masuk ke restaurant jepang di Paris, yang masak bukan orang Jepang, dan kadang-kadang rasanya amburadul karena kurang memperhatikan kualitas, dan malah jadi cita rasa makanan China. Maka dari itu, teman-teman saya yang orang Jepang, memberikan advice kepada saya untuk selalu pergi ke restaurant dimana yang masak adalah orang jepang asli, atau dikelola secara jepang. Semenjak itu, saya jadi sering berburu restaurant jepang seperti yang disarankan teman saya.

Btw, memang untuk kualitas jepang asli ini, harga jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan restaurant/supermarket yang bukan Jepang asli. Bila anda ingin menemukan versi harga murah dari bahan makanan jepang, sebetulnya bisa dicari di supermarket Tang Frère, (supermarket asia terbesar di Paris) atau di beberapa supermarket asia lainnya. Tapi untuk bahan yang lebih spesifik seperti dashi, rasanya cuman bisa nemu di supermarket Jepang.

Anyway, berikut adalah beberapa alamat restaurant/toko kue/supermarket Jepang yang menjual kualitas maupun rasa Jepang. Ada sebagian yang sudah pernah saya coba, ada yang baru wacana saja:
  1. Taéko di marché (pasar) des enfants rouges: 39 rue de bretagne M:Filles du calvaire, buka dari selasa sampai minggu dari jam 9 sampai jam 15 dan dari jam 16-18. Tutup hari minggu setelah jam 12 dan setiap hari senin. Tidak banyak menu pilihan, hanya nasi jepang, menu rumahan saja. Tapi, kelebihannya, nasi jepangnya ennuakkk banget. Gurih abis. Rada mahal sebetulnya, siap-siap untuk menghabiskan sekitar 10 euro untuk satu makanan dengan porsi kecil.
  2. Ju jiya, sebuak catering jepang, di 42, rue St. Anne, buka setiap hari, 7/7 hingga jam 19:30 malam. Mereka menyediakan menu rumahan masakan jepang. Yang ini tidak terlalu mahal, dengan 7 euro bisa dapet satu kotak sushi, dan udah kenyuang banget. Ada bakwan jepang, ada bento-bento juga. Di bagian belakangnya terdapat mini market jepang, tempat saya nyetok bahan makanan jepang saya.
  3. Berikutnya adalah Kunitoraya, rue St. Anne, menyediakan udon. Restaurantnya agak mahal, bila dibandingkan restaurant jepang sekitarannya. Tapi bersiap-siaplah mengantri bila hendak makan di sini, karena restaurant ini banyak penggemarnya. Persis di sebelah kunitoraya ini ada satu restaurant, yang saya juga sudah pernah coba. Tapi saya lupa namanya. Ini enak juga, dan antri, makanannya banyak berupa udon-udon.
  4. Supermarket Jepang yang lainnya adalah salah supermarket Kiyoko (kalau gak salah namanya sih gitu ya) yang berseberangan dengan Starbuck, di jalan rue des petits champs. Supermarket ini rada mahal, dibandingkan dengan supermarket jujiya, tapi bahan makanannya lebih lengkap.
  5. Ada satu restaurant jepang yang menyediakan menu mie-mie (tepanyaki), yang dimasak oleh kokinya persis di depan kita, namanya Higuma. Restaurant ini terletak di rue st. Anne, di seberang restaurant Kunitoraya. Ini super ngantri deh, kalau jam-jam makan siang. Ini inceran saya berikutnya!!!
  6. Toko kue (patisserie) dan salon du the. Tidak jelas namanya apa, karena tidak ada papan namanya, tapi dekorasinya menarik, imut-imut, centil dan pinky. Di sini teman jepang saya bekerja sebagai pelayan (semua pelayannya memang orang Jepang). Alamat pastinya 11 bd courcelles (metro Villiers ligne 3). Tutup setiap hari rabu. Makanan maupun kue-kuenya memang Perancis, tapi teknik pembuatannya merupakan campuran antara Jepang dan Perancis, yang memberikan rasa dan tampilan baru pada kue-kuenya. Benar-benar classy. Harganya lebih mahal daripada toko kue atau salon du the lainnya di Paris, tapi dapat dimengerti, mengingat lokasinya yang tidak jauh dari Parc Monceau, tempat para bourgeois Paris tinggal dan tentu aja karena tampilan kuenya yang wah, dan rasanya yang "très fin".
(sorry kuenya agak bocel-bocel, maklum dari tokonya ke rumah gue jauh banget, jadi udah keburu rusak deh tuh kue-kue pada kegusrak-gusrak di tenteng buat naek turun métro Paris).

Ada banyak restaurant jepang di Paris, tapi tidak banyak yang benar-benar enak atau yang benar-benar menyediakan the real deal of the jap cuisine. Untungnya, setelah mencari-cari di net, saya menemukan suatu situs yang menawarkan apa yang selama ini saya cari: alamat-alamat restaurant jepang yang authentik. Berikut adalah linknya:



Kawasan Japan townnya Paris terletak gak jauh dari gedung Opera (sekitar 1 km dari Louvre). Bila anda sudah ketemu gedung ini, anda akan melihat disekitaran banyak sekali orang Jepang, dan juga turis Russia. (hehe.. gak tau ada apa ya mereka dengan kawasan ini). Selain itu, banyak juga sih emang kantor-kantor internasional di daerah sini. Beberapa blok dari gedung opera, terdapat, banyak restaurant jepang, dan juga beberapa supermarket jepang (rue St. Anne). Tapi hati-hati, banyak juga diantara mereka yang tidak memiliki cita rasa jepang asli, kalau memang pengen makanan jepang asli, pandai-pandailah memilih bila tidak ingin kecewa.

carnet d'adresse : Japanese Touch in Paris (updated)



Setelah membahas tentang sindroma paris di postingan sebelumnya sekarang saya mau cerita tentang sentuhan jepang di ibukota Perancis.


Paris di bulan Agustus adalah Paris yang sepi. Tapi saking sepinya bosenin deh ah, soalnya banyak toko yang tutup, karena pemilik dan pegawainya pada sibuk liburan (untung agustus udah mau berakhir). Yah, memang orang Perancis emang paling demen liburan di bulan Agustus (warisan jaman dulu). Anehnya, kebiasaan ini menular kepada orang Jepang yang tinggal di Paris, mereka juga jadi ikut-ikutan meliburkan diri. Sesuatu yang aneh karena mereka sangat terkenal dengan etos kerja yang tinggi, dan merasa cukup dengan memiliki waktu libur 12 hari dalam setahun.

Saya suka masakan jepang. Banyak orang menganggap masakan jepang kurang berbumbu, tapi menurut saya, di sini lah seninya, masakan jepang begitu halus. Untuk saya yang belum pernah ke Jepang, rasanya susah juga ya bilang, mana masakan jepang yang enak mana yang enggak, mana yang punya cita rasa asli, walau kadang-kadang di Jakarta atau di Bali, saya pernah juga masuk restaurant di mana yang masak orang Jepang asli. Dan rasanya sih ya enak-enak aja, terlepas dari apakah ini cita rasa jepang asli atau bukan.

Tapi memang seringkali, saya masuk ke restaurant jepang di Paris, yang masak bukan orang Jepang, dan kadang-kadang rasanya amburadul karena kurang memperhatikan kualitas, dan malah jadi cita rasa makanan China. Maka dari itu, teman-teman saya yang orang Jepang, memberikan advice kepada saya untuk selalu pergi ke restaurant dimana yang masak adalah orang jepang asli, atau dikelola secara jepang. Semenjak itu, saya jadi sering berburu restaurant jepang seperti yang disarankan teman saya.

Btw, memang untuk kualitas jepang asli ini, harga jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan restaurant/supermarket yang bukan Jepang asli. Bila anda ingin menemukan versi harga murah dari bahan makanan jepang, sebetulnya bisa dicari di supermarket Tang Frère, (supermarket asia terbesar di Paris) atau di beberapa supermarket asia lainnya. Tapi untuk bahan yang lebih spesifik seperti dashi, rasanya cuman bisa nemu di supermarket Jepang.

Anyway, berikut adalah beberapa alamat restaurant/toko kue/supermarket Jepang yang menjual kualitas maupun rasa Jepang. Ada sebagian yang sudah pernah saya coba, ada yang baru wacana saja:
  1. Taéko di marché (pasar) des enfants rouges: 39 rue de bretagne M:Filles du calvaire, buka dari selasa sampai minggu dari jam 9 sampai jam 15 dan dari jam 16-18. Tutup hari minggu setelah jam 12 dan setiap hari senin. Tidak banyak menu pilihan, hanya nasi jepang, menu rumahan saja. Tapi, kelebihannya, nasi jepangnya ennuakkk banget. Gurih abis. Rada mahal sebetulnya, siap-siap untuk menghabiskan sekitar 10 euro untuk satu makanan dengan porsi kecil.
  2. Ju jiya, sebuak catering jepang, di 42, rue St. Anne, buka setiap hari, 7/7 hingga jam 19:30 malam. Mereka menyediakan menu rumahan masakan jepang. Yang ini tidak terlalu mahal, dengan 7 euro bisa dapet satu kotak sushi, dan udah kenyuang banget. Ada bakwan jepang, ada bento-bento juga. Di bagian belakangnya terdapat mini market jepang, tempat saya nyetok bahan makanan jepang saya.
  3. Berikutnya adalah Kunitoraya, rue St. Anne, menyediakan udon. Restaurantnya agak mahal, bila dibandingkan restaurant jepang sekitarannya. Tapi bersiap-siaplah mengantri bila hendak makan di sini, karena restaurant ini banyak penggemarnya. Persis di sebelah kunitoraya ini ada satu restaurant, yang saya juga sudah pernah coba. Tapi saya lupa namanya. Ini enak juga, dan antri, makanannya banyak berupa udon-udon.
  4. Supermarket Jepang yang lainnya adalah salah supermarket Kiyoko (kalau gak salah namanya sih gitu ya) yang berseberangan dengan Starbuck, di jalan rue des petits champs. Supermarket ini rada mahal, dibandingkan dengan supermarket jujiya, tapi bahan makanannya lebih lengkap.
  5. Ada satu restaurant jepang yang menyediakan menu mie-mie (tepanyaki), yang dimasak oleh kokinya persis di depan kita, namanya Higuma. Restaurant ini terletak di rue st. Anne, di seberang restaurant Kunitoraya. Ini super ngantri deh, kalau jam-jam makan siang. Ini inceran saya berikutnya!!!
  6. Toko kue (patisserie) dan salon du the. Tidak jelas namanya apa, karena tidak ada papan namanya, tapi dekorasinya menarik, imut-imut, centil dan pinky. Di sini teman jepang saya bekerja sebagai pelayan (semua pelayannya memang orang Jepang). Alamat pastinya 11 bd courcelles (metro Villiers ligne 3). Tutup setiap hari rabu. Makanan maupun kue-kuenya memang Perancis, tapi teknik pembuatannya merupakan campuran antara Jepang dan Perancis, yang memberikan rasa dan tampilan baru pada kue-kuenya. Benar-benar classy. Harganya lebih mahal daripada toko kue atau salon du the lainnya di Paris, tapi dapat dimengerti, mengingat lokasinya yang tidak jauh dari Parc Monceau, tempat para bourgeois Paris tinggal dan tentu aja karena tampilan kuenya yang wah, dan rasanya yang "très fin".
(sorry kuenya agak bocel-bocel, maklum dari tokonya ke rumah gue jauh banget, jadi udah keburu rusak deh tuh kue-kue pada kegusrak-gusrak di tenteng buat naek turun métro Paris).

Ada banyak restaurant jepang di Paris, tapi tidak banyak yang benar-benar enak atau yang benar-benar menyediakan the real deal of the jap cuisine. Untungnya, setelah mencari-cari di net, saya menemukan suatu situs yang menawarkan apa yang selama ini saya cari: alamat-alamat restaurant jepang yang authentik. Berikut adalah linknya:


Kawasan Japan townnya Paris terletak gak jauh dari gedung Opera (sekitar 1 km dari Louvre). Bila anda sudah ketemu gedung ini, anda akan melihat disekitaran banyak sekali orang Jepang, dan juga turis Russia. (hehe.. gak tau ada apa ya mereka dengan kawasan ini). Selain itu, banyak juga sih emang kantor-kantor internasional di daerah sini. Beberapa blok dari gedung opera, terdapat, banyak restaurant jepang, dan juga beberapa supermarket jepang (rue St. Anne). Tapi hati-hati, banyak juga diantara mereka yang tidak memiliki cita rasa jepang asli, kalau memang pengen makanan jepang asli, pandai-pandailah memilih bila tidak ingin kecewa.

WARUNG SI IBU (SALAH SATU TEMPAT MAKAN ENAK YANG TERSEMBUNYI DI KOTA BANDUNG)

Ini salah satu cerita gak penting jaman saya ngekost di Bandung. Ceritanya sih seputaran makanan, apalagi lah...ehehehe.

Dulu, yang namanya anak kost di Bandung, saya, sekali makan ngabisin Rp. 1.500 dengan menu yang sangat minim. Dulu saking gak doyannya masak (selaen gak bisa karena ada aja problem sama kelengkapan alat-alat di tempat kost), saya sering beli makan siang atau malam di kantin-kantin kecil yang tersebar di seluruh wilayah dimana mahasiswa banyak bersekolah maupun tinggal. Kadang beli juga di pasar Simpang Bandung, tempat orang pada jualan, atau menyerbu jalan Dipatiukur, dimana terdapat Mpek-mpek Pak Raden, Sate Padang, puyunghai, nasgor pinggir jalan, dan lain sebagainya.

Makan di kantin memang murah, tapi rasanya emang biasa-biasa aja, atau cenderung cemplang (istilah bokap gue kao ngatain masakannya gue.. hahaha!). Makanya, biasanya saya sering kali cuman pesen nasi dengan sayur kangkung. Gak lebih, karena yang penting perut di isi deh. Waktu jaman itu, saya emang pada dasarnya, gak punya napsu makan yang besar, apalagi kalau makanannya cemplang. Padahal kalau gak cemplang, biasanya sih vetsinnya banyak banget. Saya dulu gak terlalu suka masakan Padang (kecuali sate!), dan masakan Indonesia lainnya. Jadi ya makan untuk hiduplah, istilahnya.

Keadaan itu berlangsung cukup lama, sampai tahun-tahun terakhir saya kuliah, ketika seorang teman kost saya, tau-tau ngajak makan siang di tempat makan yang katanya mantap banget, di daerah Sekeloa Bandung. Entah kenapa, setelah kita bertahun-tahun kami serumah, kok dia baru ngajak sekarang.

Dia bilang, dulu sebelum gedung fakultasnya belom dipindah jadi tetangganya STPDN (pada jaman itu belom IPDN namanya) di Jatinangor, Bandung Coret, kampusnya terletak di daerah Sekeloa. Makanya dia tau tempat makan enak daerah itu.

Sekedar gambaran aja, Sekeloa ini adalah daerah deket kampus pusat Unpad, dan waktu itu sih kumuh (gak tau sekarang ya, mahal kali), jalanannya kecil, berliku-liku, aspal bolong-bolong, dan turun naik tanjakan, dan hanya bisa dilewati oleh satu mobil. Udah gitu kotornya minta ampun, ada sungai kecil yang kotor mengalir di daerah itu, dan kalau hujan, jalanan pada becek, air dari tanjakan atas pada turun ke bawah, sambil bawa sampah dari atas. Sekitarannya banyak kost-kostan murah yang didirikan dengan tripleks. Konon banyak sekali sidak-sidak dari ketua RT setempat untuk menertibkan para mahasiswa(i) yang berbuat mesum di kamar kost. Jadi siapkan surat kawin selengkapnya bila gak mau kena grebek dan dituduh macem-macem sama pak lurah. Malingnya? Wuih.. jangan tanya, ati-ati bertamu ke kamar (tempat) temen di situ, sebaiknya sepatu ikut di bawa masuk ke dalem kamar, kalo mau selamet.

Nah, di suatu siang yang panas, Henny, si temen kostku ini, ngajak saya makan di warung si ibu itu, bareng sama beberapa teman kost lainnya... (aduh kok bisa lupa siapa nama si ibu ini ya.. ampun deh, dosa deh gue). Kata dia, "Jek, elo siap-siap capek jalan ya! Soalnya rada jauh, dan elo tau kan sekeloa turun naek gitu jalannya! Tapi pokoknya worth it banget deh Jek, ini warung enak dan unik!!!". Saya makin penasaran. Wah..... apa iya sih?

Berangkat dari kost, kita naek angkot ke Sekeloa. Turunnya di depan mulut jalan Sekeloa, bayar berapa dulu ya, lupa deh. Di mulut jalan, terdapat banyak tukang ojek, tapi gue kan mahasiswa pelit, ogah dong, bayar ojek buat makan doang. Mulai deh kita jalan, naek ke tanjakan, trus turun lagi. Wuih capek bo! Lama kemudian, jalanan mengecil dan berubah menjadi gang, istilahnya, udah gak bisa masuk mobil, tapi temen saya masih nyuruh terus jalan. Belom ada tanda-tanda mo sampe nih, pikir saya. "Gila jauh amat sih Hen, si warung ini? Masih jauh nih?" tanya saya. Henny ngangguk. Sialan, umpat saya dalem hati.. rada-rada nyesel, kenapa gue mau ikut ya tadi.

Nah, sampe di ujung pengkolan gang, dia belok masuk ke suatu rumah. Lah, mana kantinnya? Saya melihat sekitaran, rumah itu terletak di suatu tanah sebesar kira-kira 500 m². Ada banyak paviliun atau rumah kecil di sekitarnya. Ditengahnya ada semacam lapangan, mirip seperti lapangan badminton, tapi lebih kecil lagi, dan diisi oleh jemuran gantung. Lapangan dikelilingi oleh beberapa paviliun, dan juga beberapa sawung Sunda, dimana isinya bangku dan meja panjang di jajarkan, selain itu banyak kucing di mana-mana, gendut-gendut pula.

Henny masuk ke dalam salah satu rumah yang sepertinya rumah utama. Ternyata dia masuk ke dapur rumah itu.

"Ayo jek, elo mo makan apa? Gue mo pesen gepuk... Kalo di sini yang enak, ikan goreng mujaer sama sayur asem!" Saya gak terlalu denger dia ngomong apa, karena mata saya sibuk menyapu dapur. Ada beberapa penggorengan besar yang berisi minyak panas, beserta seorang ibu berumur 50-an, yang berdiri di depannya. Di sebelah kiri saya, terdapat rak piring setinggi satu meter terbuat dari besi, tau kan yang seperti apa rak-rak piring jaman dulu.

Si ibu datang menghampiriku dengan ramahnya bertanya saya ingin makan apa siang itu. Tampaknya dia adalah sang pemilik mencakup sebagai juru masak. Wajahnya menyimpan sisa-sisa kecantikan masa dulu. Dia menjelaskan, contoh menu hari itu terhidang di meja panjang di samping kanan saya. Setiap hari, menunya ganti-ganti, tapi yang biasanya setiap hari ada, seperti ikan goreng mujaer, dan sayur asem. Akhirnya saya pesen menu tetapnya aja. Si ibu langsung melemparkan ikan mujaer mentah ke dalam penggorengan. Wah, fresh from the wok nih, pikir saya. Makanan langsung digoreng begitu kita pesan, tidak seperti kantin-kantin prasmanan mahasiswa di Bandung pada umumnya. Untuk minumnya, saya pesen es teh manis.

Henny menggiring kami ke salah satu sawung di situ yang kosong. Katanya, kita sebetulnya bisa makan di tempat yang kita mau, seperti di ruang tamu atau ruang makan, biar deket TV. Ha? Yang bener nih? Pertanyaan saya terjawab ketika saya melihat satu grup pekerja kantoran makan di ruang tamu rumah. Gitu juga di ruang makan, ada grup pekerja kantoran lainnya.

Gak lama, makanan pesanan kami datang. Ikan mujaer goreng saya tampak kecil karena digoreng garing. Terlihat asap mengepul. Di sampingnya ada piring berisi sambal cabai hijau campur minyak, bawang dan kecap. Dalam grup makanan yang baru datang terdapat mangkok baso tulisan mi won (atau ajinomoto ya?), tapi isinya sayur asam pesananku. Selain itu ada sebakul dari bambu yang berisi nasi panas yang masih ngepul asepnya.

Teman-teman langsung pada mulai makan. Saya rada ragu, saya mulai mengorek daging ikan dan mencocolnya dengan sambal kecap. HMMM SEDAPPPPP!!! Mujaernya digoreng sangat kering. Saya sendokan sayur asem ke dalam mangkung tulisan mi won tadi... ALAMAAKKKKKK sayur asem terenak yang pernah saya makan!! Gitu juga ketika saya menyeruput es teh manisnya. SEGERRR!!! Heran, makan di sini kok rasanya lain benar. Berasa pol enaknya, padahal menunya sederhana saja. Mungkin karena tempat makannya beda, boleh intip langsung dapur si ibu, berasa seperti di rumah sendiri aja kali?

Selesai makan, kami cuci tangan di belakang dapur. Ada air di dalam baskom besar. Sabun yang disediakan sabun mandi bangsa lifebuoy atau lux (saya tidak terlalu ingat). Abis itu, kami bayar di dapur si Ibu. Ibu itu mengeluarkan buku tulis « Sinar Dunia » dan meletakkannya di meja. Tampaknya dia mencatat semua pengeluarannya di sini. Dia menghitung belanjaan saya, ternyata saya menghabiskan kurang dari Rp. 3000 rupiah saja untuk siang itu. Lumayan, masih kejangkau sama anak kost, daripada makan di McD khan?

Rasanya keluar dari rumah si Ibu, saya bagai orang baru menang perang. Ketemu tempat makan yang enak, murah, kenyang, dan cara makan unik, waks, rasanya senang betul. Tapi kok pulangnya kami harus jalan nanjak dan turun lagi? Waks.. ini sih sampe rumah udah keburu laper lagi!

Besokannya, saya langsung sesumbar ke temen kampus, kalau saya menemukan tempat makan baru yang murmer. Kami rame-rame, jadi sering makan di tempat si ibu. Ada kalanya kami dapet di ruang tamu, bikin para pekerja kantoran atau tamu lain, kecewa, karena tempat favoritnya udah ditek.

Suatu hari, kami kedapetan tempat di ruang makan. Ternyata ruang makannya gak jauh dari kamar mandi, soalnya bisa kedengeran lagi ada yang mandi cibang-cibung di dalamnya. Gak lama, kunci kamar mandi diputar, dan pintu pun terbuka. Dari dalamnya, keluar seorang pria muda berumur sekitar 23-an, tinggi, berbadan atletis dan ganteng. Dan yang lebih penting, dia bertelanjang dada, tubuhnya cuman dibalut handuk kuning dari bagian pinggang ke bawah. Langsung deh temen-temen gue sontak pada terpesona melihat pemandangan di depan kami, gak sempet jaim, atau kontrol muka. Gue apalagi yee.. hehe. Saya jadi iri sama handuk kuningnya, ingin rasanya saat itu, jadi handuk kuningnya...hahaha... Dasar!.

Ini cowok jadi salting dilihatin beberapa pasang mata cewek-cewek muda, dan buru-buru masuk ke dalam kamar di samping kamar mandi, sambil tutup pintu rapat-rapat dan kunci. Takut kali kalo salah satu dari kami ada yang nekat maksa masuk. Gak heran dia buru-buru kunci pintu, siapa yang gak takut liat mata perempuan ganas seperti mau menelan ikan bulat-bulat?....hehe.

Kita langsung heboh, ngomongin itu cowok ganteng, padahal gue yakin banget, si cowok pasti bisa denger obrolan kita dengan jelasnya dari kamar dia. Kita yakin dia itu pasti anak si ibu. Wah, kita jadi makin heboh deh, selalu pengen dateng ke warung si ibu dan makin napsu makan di dalem rumah, berharap bisa liat pemandangan yang sama dengan terakhir kali kita di sana, pengen liat bidadara seger baru mandi (bidadara apa jaka tarub ya?)

Tapi kita tidak pernah beruntung. Sekali pernah sih liat si pemuda ganteng lagi jemur baju, atau lagi siap-siap pergi. Pokoknya hanya sekilas extra aja deh, gak pernah full show. Info yang kami dapat dari seorang teman kami, anak si ibu ini adah atlit basket Unpad, dari Fisip. Wah... satu kampus dong? Kok gak pernah ketemu sih? (penuh penyesalan, mengapa Unpad ada beberapa kampus yang dipisah-pisah).

Tapi lama-lama, kami jarang ke sana. Saya sibuk bikin skripsi, udah jarang ke kampus, dan susah sekali ngumpulin teman untuk pergi makan siang bareng, karena kami juga udah pada sibuk dengan urusan masing-masing (persis seperti film JOMBLO ya?). Selain itu, saya seringkali jadi lapar mata kalau ke sana, ikan gak cukup satu, trus maunya sambil makan ini atau ditambah itu, yang membuat tagihan membengkak jadi Rp. 5.000; terlalu mahal untuk anak kuliahan pada masa itu.


Hampir 10 tahun sudah berlalu semenjak saya pertama kali ke warung si ibu. Saya jadi penasaran, apakah warung itu masih ada, dan bagaimana kabar si ibu dan kang jaka tarub...hahaha. Apakah dia sudah bekerja di Jakarta, seperti banyak teman-teman kuliah saya di Bandung yang semuanya sudah pada tinggal di Jakarta?

Jadi pengen ke Bandung lagi ngajak si mas, biar dia tahu kota dimana saya tinggal selama lima tahun. Kalau dulu mau ke warung ibu harus diniatin karena males jalan kaki, sekarang apalagi ya, harus naek pesawat dulu...hehe. Padahal kalau dipikir-pikir, jalan kaki jaman dulu itu gak masalah, dibanding bila sekarang saya harus jalan kaki atau turun naik tangga metro kalau mau ke mana-mana di Paris.

Bandung yang aku kenal jaman dulu udah gak sama, terakhir saya ke sana, saya udah gak mengenalinya lagi. Selulusnya saya dari universitas, saya jarang sekali balik ke Bandung, paling kalau ada kawinan teman saja, itupun jarang sekali. Dan setiap saya ke Bandung, saya selalu terbengong-bengong atas perubahan yang terjadi dibandingkan terakhir kali saya ke sana.

Saya kok jadi kangen bandung sama daerah makannya. Di Bandung banyak harta karun terpendam, alias tempat makan enak yang gak banyak orang yang tahu pastinya. Apalagi di daerah « hitam »nya . Saya dulu sering banget beli martabak manis, bubur ayam, juice buah unik, di deket pasar induk yang buka kalau malam saja. Saya lupa di daerah mana, tapi kalau gak salah sih udah ke arah cimahi gitu dan dulu, gak banyak yang tahu daerah makan yang saya maksud. Belum lagi ada kwetiaw 88 yang wuennuakk banget kwetiaw siramnya, dan tentu aja si perkedel setan deket Station Hall.

PS:

Untuk Lita, Dessi, Lusti, Ully, Yoice, kalau kalian baca postingan gue ini, tolong kasih tau dong nama atau alamat tempat-tempat yang gue sebut di atas. Buat Ully, gue yakin banget elo pasti tau warung si ibu yang gue maksud, karena elo dulu pernah berkampus di deket situ, dan pasti pernah sama Henny ke sana... hehehe.