Showing posts with label nostalgic. Show all posts
Showing posts with label nostalgic. Show all posts

Friday, 12 September 2008

At The Moment


Gue berasa jadi ABG deh, kemaren-kemaren ngefans sama Eric Mabiusnya Ugly Betty (dan juga filmnya in general)... eh sekarang naksir sama Ed Westwicknya Gossip Girl. Menurut gue, GG itu ceritanya biasa banget, dari jaman BH9210 sang pelopor sampe sekarang ceritanya ya gitu-gitu aja, formula gonta ganti pasangan, mengetengahkan life style anak-anak orang kaya. Padahal, banyak hal yang lebih penting untuk dipikirin di luar sana. BH9210 pada awalnya sangat berbobot, banyak mengetengahkan tentang problema remaja. Tapi akhirnya ya cuman terjebak sama plot cinta yang gak penting.

Anyway, yang asik untuk ditonton dari GG sendiri adalah fashionnya, yang tampaknya butuh kerja keras di belakang layar. Yang jadi bintang utama di film ini ya modenya itu sendiri.Tapi kalo dipikir-pikir, gile juga ya, masa remaja sadar fashion banget, kadang-kadang gayanya udah kaya emak-emak, hehehe. Tapi emang sedari awal, gue ngeliat si Chuck Bass ini kok accentnya rada laen, dan pakaiannya kayak banci fashion gitu, tapi kok ya cocok-cocok aja, coba aja kalau si Chace Crawford yang punya gaya gitu, ya gak cocok! Gaya si Chuck yang bajingan dan cool ini menarik juga kalau dipikir-pikir, abis mengingatkan gue sama.. apa ya, cowok-cowok pengusung brit sound gitu? Ternyata, si Chuck ini, diperankan oleh aktor inggris yang aslinya punya accent yang lebih kental dan sexy (secara gue penggemar accent inggris dan musik-musik yang dateng dari sana). Dan kerennya lagi, ternyata si Ed ini, aslinya ngeband.. ah, makin jatuh cinta aja deh gue. Tapi ya gimana ya, umur gue jauh lebih toku dari si Ed ini, dan yah, gue udah punya "pacar" yang sayangnya gak punya accent sexy kalau lagi ngomong inggris, gaya pakaiannya kebanting dibanding si Ed, dan juga, kalau maen gitar atau nyanyi, fales abis..hahahahha...tapi dipikir-pikir mukanya gak jauh beda sih dari si Ed, terutama tatapan mata dan alisnya.... halah berharap!!!

Btw, ini daftar list lagu yang lagi gue dengerin akhir-akhir ini, gue masih dengan selera gue seperti dulu, jaman gue masih SMA... Pssttt....dulu waktu gue SMA, gue segmennya lebih ke Seattle Sound, lulus SMA ya lebih ke Brit Sound, malah sempet demen -juga sebelum lulus kuliah- sama RnB). Sekarang, ya campur sari, world music termasuk gamelan, dan kembali ke rock classic dan glam rock yang gue suka jaman SD-SMP.

The Virgins - Rich Girls
Rooney - When did your heart go?
The Strokes - What ever happenned last night
The Verve - Love is Noise

photo is taken from community.livejournal.com no intention of IPR infrigement

Thursday, 30 August 2007

WARUNG SI IBU (SALAH SATU TEMPAT MAKAN ENAK YANG TERSEMBUNYI DI KOTA BANDUNG)

Ini salah satu cerita gak penting jaman saya ngekost di Bandung. Ceritanya sih seputaran makanan, apalagi lah...ehehehe.

Dulu, yang namanya anak kost di Bandung, saya, sekali makan ngabisin Rp. 1.500 dengan menu yang sangat minim. Dulu saking gak doyannya masak (selaen gak bisa karena ada aja problem sama kelengkapan alat-alat di tempat kost), saya sering beli makan siang atau malam di kantin-kantin kecil yang tersebar di seluruh wilayah dimana mahasiswa banyak bersekolah maupun tinggal. Kadang beli juga di pasar Simpang Bandung, tempat orang pada jualan, atau menyerbu jalan Dipatiukur, dimana terdapat Mpek-mpek Pak Raden, Sate Padang, puyunghai, nasgor pinggir jalan, dan lain sebagainya.

Makan di kantin memang murah, tapi rasanya emang biasa-biasa aja, atau cenderung cemplang (istilah bokap gue kao ngatain masakannya gue.. hahaha!). Makanya, biasanya saya sering kali cuman pesen nasi dengan sayur kangkung. Gak lebih, karena yang penting perut di isi deh. Waktu jaman itu, saya emang pada dasarnya, gak punya napsu makan yang besar, apalagi kalau makanannya cemplang. Padahal kalau gak cemplang, biasanya sih vetsinnya banyak banget. Saya dulu gak terlalu suka masakan Padang (kecuali sate!), dan masakan Indonesia lainnya. Jadi ya makan untuk hiduplah, istilahnya.

Keadaan itu berlangsung cukup lama, sampai tahun-tahun terakhir saya kuliah, ketika seorang teman kost saya, tau-tau ngajak makan siang di tempat makan yang katanya mantap banget, di daerah Sekeloa Bandung. Entah kenapa, setelah kita bertahun-tahun kami serumah, kok dia baru ngajak sekarang.

Dia bilang, dulu sebelum gedung fakultasnya belom dipindah jadi tetangganya STPDN (pada jaman itu belom IPDN namanya) di Jatinangor, Bandung Coret, kampusnya terletak di daerah Sekeloa. Makanya dia tau tempat makan enak daerah itu.

Sekedar gambaran aja, Sekeloa ini adalah daerah deket kampus pusat Unpad, dan waktu itu sih kumuh (gak tau sekarang ya, mahal kali), jalanannya kecil, berliku-liku, aspal bolong-bolong, dan turun naik tanjakan, dan hanya bisa dilewati oleh satu mobil. Udah gitu kotornya minta ampun, ada sungai kecil yang kotor mengalir di daerah itu, dan kalau hujan, jalanan pada becek, air dari tanjakan atas pada turun ke bawah, sambil bawa sampah dari atas. Sekitarannya banyak kost-kostan murah yang didirikan dengan tripleks. Konon banyak sekali sidak-sidak dari ketua RT setempat untuk menertibkan para mahasiswa(i) yang berbuat mesum di kamar kost. Jadi siapkan surat kawin selengkapnya bila gak mau kena grebek dan dituduh macem-macem sama pak lurah. Malingnya? Wuih.. jangan tanya, ati-ati bertamu ke kamar (tempat) temen di situ, sebaiknya sepatu ikut di bawa masuk ke dalem kamar, kalo mau selamet.

Nah, di suatu siang yang panas, Henny, si temen kostku ini, ngajak saya makan di warung si ibu itu, bareng sama beberapa teman kost lainnya... (aduh kok bisa lupa siapa nama si ibu ini ya.. ampun deh, dosa deh gue). Kata dia, "Jek, elo siap-siap capek jalan ya! Soalnya rada jauh, dan elo tau kan sekeloa turun naek gitu jalannya! Tapi pokoknya worth it banget deh Jek, ini warung enak dan unik!!!". Saya makin penasaran. Wah..... apa iya sih?

Berangkat dari kost, kita naek angkot ke Sekeloa. Turunnya di depan mulut jalan Sekeloa, bayar berapa dulu ya, lupa deh. Di mulut jalan, terdapat banyak tukang ojek, tapi gue kan mahasiswa pelit, ogah dong, bayar ojek buat makan doang. Mulai deh kita jalan, naek ke tanjakan, trus turun lagi. Wuih capek bo! Lama kemudian, jalanan mengecil dan berubah menjadi gang, istilahnya, udah gak bisa masuk mobil, tapi temen saya masih nyuruh terus jalan. Belom ada tanda-tanda mo sampe nih, pikir saya. "Gila jauh amat sih Hen, si warung ini? Masih jauh nih?" tanya saya. Henny ngangguk. Sialan, umpat saya dalem hati.. rada-rada nyesel, kenapa gue mau ikut ya tadi.

Nah, sampe di ujung pengkolan gang, dia belok masuk ke suatu rumah. Lah, mana kantinnya? Saya melihat sekitaran, rumah itu terletak di suatu tanah sebesar kira-kira 500 m². Ada banyak paviliun atau rumah kecil di sekitarnya. Ditengahnya ada semacam lapangan, mirip seperti lapangan badminton, tapi lebih kecil lagi, dan diisi oleh jemuran gantung. Lapangan dikelilingi oleh beberapa paviliun, dan juga beberapa sawung Sunda, dimana isinya bangku dan meja panjang di jajarkan, selain itu banyak kucing di mana-mana, gendut-gendut pula.

Henny masuk ke dalam salah satu rumah yang sepertinya rumah utama. Ternyata dia masuk ke dapur rumah itu.

"Ayo jek, elo mo makan apa? Gue mo pesen gepuk... Kalo di sini yang enak, ikan goreng mujaer sama sayur asem!" Saya gak terlalu denger dia ngomong apa, karena mata saya sibuk menyapu dapur. Ada beberapa penggorengan besar yang berisi minyak panas, beserta seorang ibu berumur 50-an, yang berdiri di depannya. Di sebelah kiri saya, terdapat rak piring setinggi satu meter terbuat dari besi, tau kan yang seperti apa rak-rak piring jaman dulu.

Si ibu datang menghampiriku dengan ramahnya bertanya saya ingin makan apa siang itu. Tampaknya dia adalah sang pemilik mencakup sebagai juru masak. Wajahnya menyimpan sisa-sisa kecantikan masa dulu. Dia menjelaskan, contoh menu hari itu terhidang di meja panjang di samping kanan saya. Setiap hari, menunya ganti-ganti, tapi yang biasanya setiap hari ada, seperti ikan goreng mujaer, dan sayur asem. Akhirnya saya pesen menu tetapnya aja. Si ibu langsung melemparkan ikan mujaer mentah ke dalam penggorengan. Wah, fresh from the wok nih, pikir saya. Makanan langsung digoreng begitu kita pesan, tidak seperti kantin-kantin prasmanan mahasiswa di Bandung pada umumnya. Untuk minumnya, saya pesen es teh manis.

Henny menggiring kami ke salah satu sawung di situ yang kosong. Katanya, kita sebetulnya bisa makan di tempat yang kita mau, seperti di ruang tamu atau ruang makan, biar deket TV. Ha? Yang bener nih? Pertanyaan saya terjawab ketika saya melihat satu grup pekerja kantoran makan di ruang tamu rumah. Gitu juga di ruang makan, ada grup pekerja kantoran lainnya.

Gak lama, makanan pesanan kami datang. Ikan mujaer goreng saya tampak kecil karena digoreng garing. Terlihat asap mengepul. Di sampingnya ada piring berisi sambal cabai hijau campur minyak, bawang dan kecap. Dalam grup makanan yang baru datang terdapat mangkok baso tulisan mi won (atau ajinomoto ya?), tapi isinya sayur asam pesananku. Selain itu ada sebakul dari bambu yang berisi nasi panas yang masih ngepul asepnya.

Teman-teman langsung pada mulai makan. Saya rada ragu, saya mulai mengorek daging ikan dan mencocolnya dengan sambal kecap. HMMM SEDAPPPPP!!! Mujaernya digoreng sangat kering. Saya sendokan sayur asem ke dalam mangkung tulisan mi won tadi... ALAMAAKKKKKK sayur asem terenak yang pernah saya makan!! Gitu juga ketika saya menyeruput es teh manisnya. SEGERRR!!! Heran, makan di sini kok rasanya lain benar. Berasa pol enaknya, padahal menunya sederhana saja. Mungkin karena tempat makannya beda, boleh intip langsung dapur si ibu, berasa seperti di rumah sendiri aja kali?

Selesai makan, kami cuci tangan di belakang dapur. Ada air di dalam baskom besar. Sabun yang disediakan sabun mandi bangsa lifebuoy atau lux (saya tidak terlalu ingat). Abis itu, kami bayar di dapur si Ibu. Ibu itu mengeluarkan buku tulis « Sinar Dunia » dan meletakkannya di meja. Tampaknya dia mencatat semua pengeluarannya di sini. Dia menghitung belanjaan saya, ternyata saya menghabiskan kurang dari Rp. 3000 rupiah saja untuk siang itu. Lumayan, masih kejangkau sama anak kost, daripada makan di McD khan?

Rasanya keluar dari rumah si Ibu, saya bagai orang baru menang perang. Ketemu tempat makan yang enak, murah, kenyang, dan cara makan unik, waks, rasanya senang betul. Tapi kok pulangnya kami harus jalan nanjak dan turun lagi? Waks.. ini sih sampe rumah udah keburu laper lagi!

Besokannya, saya langsung sesumbar ke temen kampus, kalau saya menemukan tempat makan baru yang murmer. Kami rame-rame, jadi sering makan di tempat si ibu. Ada kalanya kami dapet di ruang tamu, bikin para pekerja kantoran atau tamu lain, kecewa, karena tempat favoritnya udah ditek.

Suatu hari, kami kedapetan tempat di ruang makan. Ternyata ruang makannya gak jauh dari kamar mandi, soalnya bisa kedengeran lagi ada yang mandi cibang-cibung di dalamnya. Gak lama, kunci kamar mandi diputar, dan pintu pun terbuka. Dari dalamnya, keluar seorang pria muda berumur sekitar 23-an, tinggi, berbadan atletis dan ganteng. Dan yang lebih penting, dia bertelanjang dada, tubuhnya cuman dibalut handuk kuning dari bagian pinggang ke bawah. Langsung deh temen-temen gue sontak pada terpesona melihat pemandangan di depan kami, gak sempet jaim, atau kontrol muka. Gue apalagi yee.. hehe. Saya jadi iri sama handuk kuningnya, ingin rasanya saat itu, jadi handuk kuningnya...hahaha... Dasar!.

Ini cowok jadi salting dilihatin beberapa pasang mata cewek-cewek muda, dan buru-buru masuk ke dalam kamar di samping kamar mandi, sambil tutup pintu rapat-rapat dan kunci. Takut kali kalo salah satu dari kami ada yang nekat maksa masuk. Gak heran dia buru-buru kunci pintu, siapa yang gak takut liat mata perempuan ganas seperti mau menelan ikan bulat-bulat?....hehe.

Kita langsung heboh, ngomongin itu cowok ganteng, padahal gue yakin banget, si cowok pasti bisa denger obrolan kita dengan jelasnya dari kamar dia. Kita yakin dia itu pasti anak si ibu. Wah, kita jadi makin heboh deh, selalu pengen dateng ke warung si ibu dan makin napsu makan di dalem rumah, berharap bisa liat pemandangan yang sama dengan terakhir kali kita di sana, pengen liat bidadara seger baru mandi (bidadara apa jaka tarub ya?)

Tapi kita tidak pernah beruntung. Sekali pernah sih liat si pemuda ganteng lagi jemur baju, atau lagi siap-siap pergi. Pokoknya hanya sekilas extra aja deh, gak pernah full show. Info yang kami dapat dari seorang teman kami, anak si ibu ini adah atlit basket Unpad, dari Fisip. Wah... satu kampus dong? Kok gak pernah ketemu sih? (penuh penyesalan, mengapa Unpad ada beberapa kampus yang dipisah-pisah).

Tapi lama-lama, kami jarang ke sana. Saya sibuk bikin skripsi, udah jarang ke kampus, dan susah sekali ngumpulin teman untuk pergi makan siang bareng, karena kami juga udah pada sibuk dengan urusan masing-masing (persis seperti film JOMBLO ya?). Selain itu, saya seringkali jadi lapar mata kalau ke sana, ikan gak cukup satu, trus maunya sambil makan ini atau ditambah itu, yang membuat tagihan membengkak jadi Rp. 5.000; terlalu mahal untuk anak kuliahan pada masa itu.


Hampir 10 tahun sudah berlalu semenjak saya pertama kali ke warung si ibu. Saya jadi penasaran, apakah warung itu masih ada, dan bagaimana kabar si ibu dan kang jaka tarub...hahaha. Apakah dia sudah bekerja di Jakarta, seperti banyak teman-teman kuliah saya di Bandung yang semuanya sudah pada tinggal di Jakarta?

Jadi pengen ke Bandung lagi ngajak si mas, biar dia tahu kota dimana saya tinggal selama lima tahun. Kalau dulu mau ke warung ibu harus diniatin karena males jalan kaki, sekarang apalagi ya, harus naek pesawat dulu...hehe. Padahal kalau dipikir-pikir, jalan kaki jaman dulu itu gak masalah, dibanding bila sekarang saya harus jalan kaki atau turun naik tangga metro kalau mau ke mana-mana di Paris.

Bandung yang aku kenal jaman dulu udah gak sama, terakhir saya ke sana, saya udah gak mengenalinya lagi. Selulusnya saya dari universitas, saya jarang sekali balik ke Bandung, paling kalau ada kawinan teman saja, itupun jarang sekali. Dan setiap saya ke Bandung, saya selalu terbengong-bengong atas perubahan yang terjadi dibandingkan terakhir kali saya ke sana.

Saya kok jadi kangen bandung sama daerah makannya. Di Bandung banyak harta karun terpendam, alias tempat makan enak yang gak banyak orang yang tahu pastinya. Apalagi di daerah « hitam »nya . Saya dulu sering banget beli martabak manis, bubur ayam, juice buah unik, di deket pasar induk yang buka kalau malam saja. Saya lupa di daerah mana, tapi kalau gak salah sih udah ke arah cimahi gitu dan dulu, gak banyak yang tahu daerah makan yang saya maksud. Belum lagi ada kwetiaw 88 yang wuennuakk banget kwetiaw siramnya, dan tentu aja si perkedel setan deket Station Hall.

PS:

Untuk Lita, Dessi, Lusti, Ully, Yoice, kalau kalian baca postingan gue ini, tolong kasih tau dong nama atau alamat tempat-tempat yang gue sebut di atas. Buat Ully, gue yakin banget elo pasti tau warung si ibu yang gue maksud, karena elo dulu pernah berkampus di deket situ, dan pasti pernah sama Henny ke sana... hehehe.

BULAN INI DUA TAHUN YANG LALU



Sepasang kekasih berumur 20-an, duduk di dalam Café Oh La La di Bandara Cengkareng. Saya duduk dekat sekali dengan mereka, sehingga saya dapat mengamati wajah mereka yang murung sekaligus mendengarkan percakapan mereka. Mereka bercakap-cakap dengan pelan, tapi wajah sedih mereka mengundang tanda tanya setiap orang yang menatap mereka. Yang wanita menangis dalam diam, sedangkan yang laki, berusaha menahan air matanya jatuh ke piring croissantnya.


Kemudian, si wanita berkata, "Kapan kita akan bertemu lagi?"
"Aku tak tahu pastinya. Tapi aku tau bahwa waktunya segera", jawab prianya.
"Aku akan mengunjungimu di Perancis tahun ini juga. Akan kuusahakan dengan sebisaku untuk mendapatkan visa, dan menyusulmu di sana bulan September!", sambung si wanita.
"Kalau begitu, aku tunggu kamu di sana. Kita akan bersama-sama lagi untuk selamanya!"
Mereka tersenyum kecut, kemudian terdiam. Mungkin mereka tahu kalau tidak mudah mendapatkan visa hari gini. Ada perasaan putus asa. Pelayan café, orang-orang yang lalu lalang dan pengujung café banyak juga yang curi-curi kesempatan menatap kepada mereka, ingin tahu drama yang sedang terjadi. Pilu juga rasanya mendengar dua kekasih yang hendak berpisah ini. Rasanya saya juga merasakan kesedihan yang melanda si wanita.

Kemudian yang wanita berkata, "Sebaiknya kamu masuk ke dalam. Aku tidak tahan lagi rasanya menahan sakit. Aku ingin kesedihan ini berlalu saja, toh kamu akhirnya akan pergi juga sebentar lagi!"

Si lelaki setuju dan mengemas barang-barangnya. Mereka pun berpelukkan kemudian si lelaki berkata, "Sampai jumpa bulan September!". Si wanita terdiam. Kemudian mereka pergi ke arah yang saling berlawanan. Si wanita pergi dengan bergegas tanpa melihat kebelakang. Si pria sempat terdiam sebentar di tempatnya, kemudian berjalan ke arah sebaliknya. Ia sempat menoleh kebelakang, ke arah wanita itu. Beberapa saat setelahnya, si wanita gantian melihat ke belakang, mungkin dia berharap kalau si Pria masih ada di sana. Tapi si pria sudah masuk ke dalam terminal. Ada rona kecewa pada muka si wanita. Tapi tidak ada yang dapat menghentikan waktu untuk berjalan.

Bersambung... hehehehe.. keqi gak sih?

IMAGINARY CONVERSATION

A: Hey, how about going to town today?
B: No..i don't feel like going.
A: Why?
B: I just want to stay home, and share today with you only, without other people in it. I want to pass the day cuddling with you, and share my thoughts.
A: Oh.. that is a very romantic idea. Tell me what is on your mind...
B: How i am so happy to meet you, to have you in my life.
A: *speechless*
B: Come here darling. (A kissed B and held her tightly *tupperware mode on* and somehow, B could feel that A was transfering his happiness to her).
A: I love you B, and i am glad that fate matches us up.
B: *still speechless or passed out, to be more precisely...hehehe* (Romantique mixed up/confused with dangdut – Red Alert!!!).

Ljmeau, for the pilgrim that never took place, March 4, 2007

SOUVENIR DE PARIS ET DE JAKARTA

Tadi sore, saya membuka kotak surat, saya memang menantikan beberapa surat penting dan kiriman buku yang saya pesan lewat net. Tp betapa kecewanya saya, karena saya tidak menemukan surat-surat yang saya tunggu-tunggu. Tapi ada suatu amplop, dimana tertera nama kecil saya sebagai penerimanya (dan juga nama suami tentunya). Buru-buru saya buka itu surat. Ternyata dari teman ibuku, Madame Woetz, seorang nenek Perancis yang tinggal di paris. Isinya, foto-foto saya waktu jalan sama dia minggu lalu di Paris, katanya ini souvenir de Paris. Emang sih, kalau liat foto-fotonya, yah Paris banget lah yaw.

Saya jadi ingat, bagaimana saya mengenal madame ini. Dia teman ibu saya waktu di Jakarta, duluuu banget. Si madame ini juga masih muda dulunya, belum nenek-nenek lah ya. Awal perkenalan mereka sih, menurut pengakuan madame Woetz ini, adalah ibu saya duluan yang mengajak kenalan (loh kok kayak orang pendekatan gini?). Mereka berdua sama-sama lagi mau pinjam buku di Centre Culturel Français (Pusat Kebudayaan Perancis, CCF) Salemba, Jakarta.

Sekedar catatan, Ibu memang aktif ikut kursus di CCF. Saya ingat benar, bagaimana saya sering jemput ibu di CCF Salemba yang dekat dengan kantor bapak dan sekolahku. Ibu les dalam jangka waktu yang cukup lama di tempat ini, sampai-sampai, waktu jaman saya les di sana sepulang ngantor, satpam dan pegawai perpusnya mengenali ibu saya yang pada awal saya les, sering jemput ke Salemba. Lucu aja gitu, ternyata di CCF Salemba itu, mulai dari Satpam, Pegawai Perpus maupun guru-gurunya masih banyak yang belom pensiun! Jadi mereka masih mengenali rupa ibuku, dan mereka bilang, "oh ini anaknya yang dulu pake seragam SD"

Eits....Jangan pada protes, kalau saya pulang kantor, pulang les, memang sering dijemput sama ibu/bapak. Emang, saya anak mami/papi lah istilahnya. Karena amanat (dan perintah yang gak boleh dibantah) dari ibu pulalah yang membuat saya, pada akhirnya, belajar bahasa Perancis. Itu waktu saya SMP, dan berlangsung cuman beberapa bulan. Gak kuat belajar bahasa njlimet gini. Mending les gitar lah ya. Ibu emang mikirnya udah jauh banget waktu itu, katanya buat pendidikan bekal masa depan. Ternyata ibu benar, bahasa Perancis itu perlu, selulusnya aku kuliah, aku harus menelan kembali kata-kataku dulu ke Ibu, kalau bahasa selaen bahasa Inggris gak penting. Saya mulai lagi les perancis dan nol, ketika saya kerja. Ibu benar, penting untuk masa depan. Kalau ternyata di masa depan saya (masa sekarang maksudnya, back to the future) kawin ama orang Perancis sih karena kebetulan aja sih ya...hehehe, karena saya les bahasa perancis sebelum saya mengenal pria yang nantinya jadi pacar dan suami saya.

Balik ke Madame Woetz. Keberadaan keluarga Woetz di Jakarta adalah dalam rangka tugas Monsieur Woetz di Jakarta, yaitu mendirikan bandara terhebat di Indonesia (yang menurut majalah Tempo, mark up-nya gila-gilaan, pohon palem aja bisa berharga 3 juta rupiah sebatangnya!).

Dari perkenalan mereka di perpustakaan, entah gimana ceritanya, kami diundang ke rumahnya, untuk berenang. Dan ini akhirnya jadi sesuatu yang dijadwalkan, dimana saya dan seorang kakak saya, tiap seminggu sekali, selalu berenang di kolam renang rumah mereka yang luas. Sementara Ibu ngobrol-ngobrol sama si Madame itu, kami pun enak berenang dan makan es krim. Dan tiap bertamu di tempat si madame ini, selalu dikasih cemilan-cemilan enak. Es krim yang paling enak di Jakarta, tahun 80-an, yah cuman ada di rumahnya dia aja. Entah dia itu beli di mana, kali ada supermarket khusus untuk orang-orang Perancis pada masa itu, atau enggak, titipan temen kali ya. Atau nggak, ya beli di supermarket untuk expat, Kem Chic. Udah gitu, kue-kuenya yang à la Perancis gitu deh. Belum lagi kalau ke rumahnya, ada aja barang-barang yang bisa dilihat. Seperti museum sebetulnya, karena barang-barangnya aneh-aneh. Hari dimana kita berenang di rumahnya adalah hari yang paling saya tunggu-tunggu di setiap minggunya. Iyalah, makan es krim kok.

Sampai suatu hari, tugas Monsieur Woetz di Indonesia selesai sudah. Bandaranya sudah berdiri dengan megahnya dan jadi bandara yang paling megah di Asia Tenggara (sekarang masih ada khan?.. cuman sekarang jorok banget, dan banyak preman gitu..hehehe). Mereka pun harus kembali ke Perancis. Saya tidak pernah tau pastinya berapa lama mereka di Indonesia. Yang jelas mereka tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. (Monsieur sempat belajar bahasa Indonesia sebelum berangkat tugas di Indonesia. Tapi dia kayaknya gak pernah praktek ngomong Indonesia tuh). Kita pun tidak pernah berjumpa lagi dengan mereka. Teman ibu di dunia nyata terserbut berubah menjadi sahabat penanya.

Tiap tahun, mereka, ibu dan madame, saling berkirim kabar, berkirim foto terbaru sekalian. Saya tidak pernah tau apa isi surat-surat tersebut. Mungkin juga, mereka tidak selalu berkirim kabar setiap tahun. Seingat saya, ada tahun-tahun dimana mereka saling putus kontak karena kesibukan masing-masing. Tapi ada kalanya Madame mengirimkan parfume ke Ibu. Lain waktu, Madame mengirimkan foto Felix dan Ivan, dua anak laki mereka yang dulu sempat saya kenal sekilas, yang ternyata sudah menikah. Ternyata Ivan itu gak jauh juga jarak umurnya denganku. Empat tahun saja beda umurnya. Saya pikir yang 10 tahun lebih, abis dulu kayaknya mereka bongsor sekaleee. Kemudian, kakakku yang lain pernah juga mengunjungi Madame di Paris. Tapi ibuku tidak pernah berjumpa lagi dengannya. Dan aku rasa, Madame juga tidak terlalu ingat denganku.

Sampai suatu hari pacar perancisku yang baru pulang berlibur dari Indonesia, datang berkunjung ke apartemen mereka di Paris, untuk menyampaikan bingkisan titipan ibuku untuk keluarga Woetz. Mereka pun mulai menggali ingatannya akan bentuk dan rupaku. Gak berhasil juga, hehehe. Dan akhirnya pun, aku tinggal di Perancis dan menyempatkan diri sowan ke apartemen mereka di Paris.

Awal pertemuan agak kaku...mereka sepertinya sibuk-sibuk mengingat masa lalu mereka di Jakarta. Saking kakunya, saya yang gak lancar ngomong Perancis, gak tau mau ngomong apa. Mereka pun sepertinya gak sabar menunggu saya pulang aja.. hihihi... Tapi mereka dengan baik hatinya mengundang Saya dan suamiku untuk datang nginep di tempat mereka di desa agak keluar dikit dari provinsi île-de-france, kapan saja kami mau. Saya bingung juga ya, diterima atau enggak, abis mau ngomong apa sama mereka, mereka kan sudah tua, ada rentang usia yang sangat jauh diantara kita, nanti gak nyambung dong ngomongnya? Tapi mereka sudah mengundang, ya harus diterima dong... gak sopan, padahal sama orang tua kok... hehehe..

Kami pun menyempatkan diri untuk memenuhi undangannya pada suatu akhir pekan di suatu musim panas. Mereka mengundang serta sepasang suami istri yang umurnya jauh lebih tua daripada mereka. Wah, ini mah dikelilingin ninik akik, pikir saya. Gak nginep lama-lama deh ah..hehehe. Tapi ternyata, akhir pekan itu menjadi akhir pekan yang sangat menyenangkan. Para kakek nenek ini enak banget kalau diajak ngobrol. Apalagi mereka semua pernah ke Indonesia, ada ajalah yang bisa diobrolin. Banyak sekali candaan yang keluar diantara mereka, dan surprise, suami saya yang biasanya sangat pemalu, bisa juga nyambung ngobrol sama mereka. Benar-benar weekend yang menyenangkan.

Dan minggu lalu, saya dan madame sempat ketemuan bareng di Paris, trus pergi ke museum, juga pergi ngafe bentar ketemuan ama temennya, nenek2 juga..hehehehe... Tapi baek2 lah mereka itu. Gak nyangka ya, temen ibuku, bisa jadi temenku juga pada akhirnya... hehehehe....

Berikut adalah fotoku hasil jepretan si madame, katanya untuk dikirim ke ibuku di Jakarta (loh.. bukannya saya aja yang ngirim, gimana sih? Tapi dia selalu gitu, setiap kita ketemuan, dia ambil foto mukaku, abis itu dikirim ke Jakarta... ini anaknya malah enggak pernah kirim foto ke ibunya sendiri..hehehehe).

//

Tuh kan temanya Paris banget?

Itulah souvenir de Paris et de Jakarta. Dunia ini indah karena penuh dengan cerita persahabatan ya?