Perawan rokok
Kalau ada julukan itu, mungkin sayalah orangnya. Saya emang gak pernah sama sekali ngerokok. Mungkin waktu saya umur tiga atau empat tahun pernah kali ya, mungutin puntung rokok yang udah dingin di jalan dan menghisapnya (jorok memang). Tapi kalau rokok hidup, ya gak pernah.
Dibesarkan oleh Ibu dan Bapak yang bekerja di bidang kesehatan, saya sudah sangat menyadari sedari kecil, bahaya merokok. Walaupun kadang saya gelagapan juga kalau suruh menerangkan ke orang lain kenapa rokok sangat berbahaya bagi kesehatan. Saya sudah begitu terbiasa tau kalau itu bahaya, maka saya tidak pernah lagi mencari tahu tentang penemuan-penemuan terbaru mengenai bahaya rokok.
Anehnya, saya juga gak pernah kepingin menyentuh rokok. Ketika SMP teman-teman ada yang sudah mulai merokok, saya gak ikutan. Wajah ibu yang galak membuat saya kenyut untuk mencoba. Kalau saya mencoba, saya tahu kalau ibu pasti akan kecewa. Pasti kecewanya sama kayak kalau saya gak lulus EBTANAS. Semasa SMA, rasanya udah gak kepengen mencoba, saya udah keburu males dan malah jadi anti rokok. Saya makin gak suka baunya, dan asap yang bikin saya sakit mata. Selain itu, Saya males coba karena saya takut, kalau sekali saya mencoba saya akan keterusan dan gak bisa berhenti. Karena anehnya sekalipun anti rokok, kadang ada saat-saat tertentu dimana saya juga kepengen menghisap rokok, padahal gak lagi stress juga.
Masa kuliah, teman-teman kost banyak yang merokok. Untung saya punya TV di kamar sendiri, jadi kalau lagi banyak yang merokok di ruang TV, saya mending menghindar nonton di kamar aja. Yang repot kalau lagi pengen bertandang ke kamar tetangga tersayang, tapi merekanya lagi sibuk ngerokok. Saking tidak tersentuhnya saya dengan rokok, kayaknya ada juga yang sebel ngeliat sikap saya yang tidak tersentuh atau menghindar dari rokok. Ada satu diantara mereka yang nyumpahin saya, waktu saya mau berangkat ke Belanda, kalau saya akan berubah menjadi perokok berat. Anehnya, yang begini gak cuman satu, teman kampus ada juga yang nyumpahin sama. Mungkin karena Belanda dingin, dan mereka pikir saya bakal cari kehangatan lewat rokok, atau terbawa suasana Belanda yang lebih bebas.
Sampe di Belanda, temen-temen ada juga yang perokok berat. Tapi gak ada tuh keinginan sama sekali untuk merokok. Apalagi tau kalo di Belanda, atau Eropa pada umumnya kualitas tembakaunya konon kalah sama yang di Indonesia, dengan harga yang berkali lipat jauh lebih mahal daripada di Indonesia. Nah ini dia yang temen-temen saya salah memperhitungkan. Masalah kantong, dah tau gue gampang boke-an orangnya, hahaha. Mending duitnya buat makan yah?
Pulang ke Indonesia, sempet juga berantem dengan para penggemar rokok, karena saya pikir banyak sekali orang yang tidak memperrhatikan kesehatan orang lain, yang kira-kira menjadikan saya sebagai perokok pasif. Pembelaan mereka: 1) Merokok adalah hak asasi pribadi. 2) Rokok menciptakan lapangan pekerja. 3) Atau toh kita semua akan mati pada akhirnya. 4) Semua orang akan kena cancer pada akhirnya. 5) Ada orang yang perokok berat tapi tetap sehat ketika udah tua (padahal kemungkinannya berapa banding berapa yah yang begini?). Ah, mereka gak nyadar sih kalau kita ngerokok kan kemungkinan kita kena kanker jadi 3 kali lipat (minimal). Kalau sakit cancer di Indonesia kan mahal, gak ada asuransi yang nanggung. Siapa yang bayar kalau gak kantong kita sendiri? Dan kebayang penderitaan kita sepanjang kita sakit. Kalau langsung mati sih mending, gak ngerasa sakit lama-lama, gak ngerasa bete bulak balik kena macet ketika harus ke RS. Nah ini pakai penderitaan dan keluarga kita yang berwajah sedih, apa kita jadi tega? Apalagi kalau duit sekolah anak jadi dipakai biaya pengobatan kita.
Untungnya, di kantor, gak banyak yang perokok, dan di kantor kita dilarang merokok. Jadi gak ada tuh cerita beberapa pekerja yang gak bisa mikir kalau gak sambil ngerokok, yang meracuni pekerja lainnya.
Di Perancis, buset dah, di sini orang-orangnya jauh lebih perokok berat dibandingkan di Belanda. Kadang saya ngerasa kalau saya lagi ada di Indonesia, saking banyaknya orang yang merokok di jalan. Walaupun sekarang ada larangan untuk tidak merokok di tempat umum milik pemerintah seperti di stasiun kereta api tetep aja tuh, saya banyak menemukan perokok-perokok yang tau juga kalau mereka gak akan ada yang nindak, seperti memberikan denda yang lumayan mahal. Untungnya, entah apa perasaan saya saja, jumlah perokok badung ini berkurang saja makin hari.
Tahun depan, larangan merokok akan lebih diluaskan, di restoran, bar, disko, kita dilarang merokok. Tapi saya gak yakin kalau larangan ini bakal dipatuhi. Orang Perancis banyak yang ngeyelan, apalagi kalau urusan rokok. Orang Italia yang katanya kurang disiplin, malah udah lebih dulu melaksanakan aturan ini tanpa banyak protes; Di Perancis, setiap kebijakan baru, selalu diwarnai dengan demo-demo yang kadang-kadang ridicule. Beberapa minggu yang lau, udah ada tuh demo anti larangan rokok di restoran, bar, disko. Tapi gak tau apa tuntutan maupun hasilnya.
Pengusaha restaurant, disko, bar jadi takut rugi, kehilangan pelanggan. Tapi ada juga yang gak takut, karena mikirnya pasti bakal ada pelanggan yang tidak merokok yang jadi tidak segan datang ke restoranm pelanggan yang tidak merokok, seperti saya. Sayang sekali, saya udah lama berhenti ikutan program ngeresto juga, hehe. Kalau bisa bikin mirip sama yang di restoran, yah mending makan di rumah aja deh, hehe.
Anyway, itu lah sekelumit cerita saya tentang ketidakmerokokan saya. Selama ini saya selalu dikelilingi oleh suatu pagar, yaitu keluarga saya sendiri, yang tidak merokok. Tidak ada kakak-kakak yang merokok. Pasangan kami, rata-rata juga tidak merokok. Gitu juga dengan keluarga (ibu-bapak, adik-adik) mereka.
Pertanyaanya sampai kapan saya bakal jadi perawan rokok? Saat ini bukan saat yang tepat untuk kehilangan keperawanan saya dan menjadi perokok tetap, karena naiknya harga rokok eceran saat ini (paling tidak di perancis dan di indonesia), dan berbagai larangan yang menjegal kebebasan perokok. Saya jadi ingat, tahun 2005 HM Sampoerna menjual saham perusahaannya kepada perusahaan berbasis Swiss, Phillip Moris, karena konon mereka merasa sudah tidak menguntungkan lagi berbisnis rokok di Indonesia di masa mendatang. Bikin saya jadi ingat, perusahaan biskuit LU dijual karena mereka merasa di masa depan, orang akan hidup lebih sehat, dan tidak lagi makan biskuit yang manis-manis.
Untuk teman-temanku yang perokok, jangan dianggap ini adalah serangan bagi kalian. Emang bener, ngerokok adalah pilihan pribadi. Tapi tetaplah menjadikannya sesuatu yang "pribadi" tanpa harus dibagi ke orang lain apalagi pake nyumpahin saya segala untuk jadi perokok berat...hehehe..sampe sekarang sumpahnya belom manjur tuh. Masih kalah efeknya sama sumpah pemuda.
Kalau ada julukan itu, mungkin sayalah orangnya. Saya emang gak pernah sama sekali ngerokok. Mungkin waktu saya umur tiga atau empat tahun pernah kali ya, mungutin puntung rokok yang udah dingin di jalan dan menghisapnya (jorok memang). Tapi kalau rokok hidup, ya gak pernah.
Dibesarkan oleh Ibu dan Bapak yang bekerja di bidang kesehatan, saya sudah sangat menyadari sedari kecil, bahaya merokok. Walaupun kadang saya gelagapan juga kalau suruh menerangkan ke orang lain kenapa rokok sangat berbahaya bagi kesehatan. Saya sudah begitu terbiasa tau kalau itu bahaya, maka saya tidak pernah lagi mencari tahu tentang penemuan-penemuan terbaru mengenai bahaya rokok.
Anehnya, saya juga gak pernah kepingin menyentuh rokok. Ketika SMP teman-teman ada yang sudah mulai merokok, saya gak ikutan. Wajah ibu yang galak membuat saya kenyut untuk mencoba. Kalau saya mencoba, saya tahu kalau ibu pasti akan kecewa. Pasti kecewanya sama kayak kalau saya gak lulus EBTANAS. Semasa SMA, rasanya udah gak kepengen mencoba, saya udah keburu males dan malah jadi anti rokok. Saya makin gak suka baunya, dan asap yang bikin saya sakit mata. Selain itu, Saya males coba karena saya takut, kalau sekali saya mencoba saya akan keterusan dan gak bisa berhenti. Karena anehnya sekalipun anti rokok, kadang ada saat-saat tertentu dimana saya juga kepengen menghisap rokok, padahal gak lagi stress juga.
Masa kuliah, teman-teman kost banyak yang merokok. Untung saya punya TV di kamar sendiri, jadi kalau lagi banyak yang merokok di ruang TV, saya mending menghindar nonton di kamar aja. Yang repot kalau lagi pengen bertandang ke kamar tetangga tersayang, tapi merekanya lagi sibuk ngerokok. Saking tidak tersentuhnya saya dengan rokok, kayaknya ada juga yang sebel ngeliat sikap saya yang tidak tersentuh atau menghindar dari rokok. Ada satu diantara mereka yang nyumpahin saya, waktu saya mau berangkat ke Belanda, kalau saya akan berubah menjadi perokok berat. Anehnya, yang begini gak cuman satu, teman kampus ada juga yang nyumpahin sama. Mungkin karena Belanda dingin, dan mereka pikir saya bakal cari kehangatan lewat rokok, atau terbawa suasana Belanda yang lebih bebas.
Sampe di Belanda, temen-temen ada juga yang perokok berat. Tapi gak ada tuh keinginan sama sekali untuk merokok. Apalagi tau kalo di Belanda, atau Eropa pada umumnya kualitas tembakaunya konon kalah sama yang di Indonesia, dengan harga yang berkali lipat jauh lebih mahal daripada di Indonesia. Nah ini dia yang temen-temen saya salah memperhitungkan. Masalah kantong, dah tau gue gampang boke-an orangnya, hahaha. Mending duitnya buat makan yah?
Pulang ke Indonesia, sempet juga berantem dengan para penggemar rokok, karena saya pikir banyak sekali orang yang tidak memperrhatikan kesehatan orang lain, yang kira-kira menjadikan saya sebagai perokok pasif. Pembelaan mereka: 1) Merokok adalah hak asasi pribadi. 2) Rokok menciptakan lapangan pekerja. 3) Atau toh kita semua akan mati pada akhirnya. 4) Semua orang akan kena cancer pada akhirnya. 5) Ada orang yang perokok berat tapi tetap sehat ketika udah tua (padahal kemungkinannya berapa banding berapa yah yang begini?). Ah, mereka gak nyadar sih kalau kita ngerokok kan kemungkinan kita kena kanker jadi 3 kali lipat (minimal). Kalau sakit cancer di Indonesia kan mahal, gak ada asuransi yang nanggung. Siapa yang bayar kalau gak kantong kita sendiri? Dan kebayang penderitaan kita sepanjang kita sakit. Kalau langsung mati sih mending, gak ngerasa sakit lama-lama, gak ngerasa bete bulak balik kena macet ketika harus ke RS. Nah ini pakai penderitaan dan keluarga kita yang berwajah sedih, apa kita jadi tega? Apalagi kalau duit sekolah anak jadi dipakai biaya pengobatan kita.
Untungnya, di kantor, gak banyak yang perokok, dan di kantor kita dilarang merokok. Jadi gak ada tuh cerita beberapa pekerja yang gak bisa mikir kalau gak sambil ngerokok, yang meracuni pekerja lainnya.
Di Perancis, buset dah, di sini orang-orangnya jauh lebih perokok berat dibandingkan di Belanda. Kadang saya ngerasa kalau saya lagi ada di Indonesia, saking banyaknya orang yang merokok di jalan. Walaupun sekarang ada larangan untuk tidak merokok di tempat umum milik pemerintah seperti di stasiun kereta api tetep aja tuh, saya banyak menemukan perokok-perokok yang tau juga kalau mereka gak akan ada yang nindak, seperti memberikan denda yang lumayan mahal. Untungnya, entah apa perasaan saya saja, jumlah perokok badung ini berkurang saja makin hari.
Tahun depan, larangan merokok akan lebih diluaskan, di restoran, bar, disko, kita dilarang merokok. Tapi saya gak yakin kalau larangan ini bakal dipatuhi. Orang Perancis banyak yang ngeyelan, apalagi kalau urusan rokok. Orang Italia yang katanya kurang disiplin, malah udah lebih dulu melaksanakan aturan ini tanpa banyak protes; Di Perancis, setiap kebijakan baru, selalu diwarnai dengan demo-demo yang kadang-kadang ridicule. Beberapa minggu yang lau, udah ada tuh demo anti larangan rokok di restoran, bar, disko. Tapi gak tau apa tuntutan maupun hasilnya.
Pengusaha restaurant, disko, bar jadi takut rugi, kehilangan pelanggan. Tapi ada juga yang gak takut, karena mikirnya pasti bakal ada pelanggan yang tidak merokok yang jadi tidak segan datang ke restoranm pelanggan yang tidak merokok, seperti saya. Sayang sekali, saya udah lama berhenti ikutan program ngeresto juga, hehe. Kalau bisa bikin mirip sama yang di restoran, yah mending makan di rumah aja deh, hehe.
Anyway, itu lah sekelumit cerita saya tentang ketidakmerokokan saya. Selama ini saya selalu dikelilingi oleh suatu pagar, yaitu keluarga saya sendiri, yang tidak merokok. Tidak ada kakak-kakak yang merokok. Pasangan kami, rata-rata juga tidak merokok. Gitu juga dengan keluarga (ibu-bapak, adik-adik) mereka.
Pertanyaanya sampai kapan saya bakal jadi perawan rokok? Saat ini bukan saat yang tepat untuk kehilangan keperawanan saya dan menjadi perokok tetap, karena naiknya harga rokok eceran saat ini (paling tidak di perancis dan di indonesia), dan berbagai larangan yang menjegal kebebasan perokok. Saya jadi ingat, tahun 2005 HM Sampoerna menjual saham perusahaannya kepada perusahaan berbasis Swiss, Phillip Moris, karena konon mereka merasa sudah tidak menguntungkan lagi berbisnis rokok di Indonesia di masa mendatang. Bikin saya jadi ingat, perusahaan biskuit LU dijual karena mereka merasa di masa depan, orang akan hidup lebih sehat, dan tidak lagi makan biskuit yang manis-manis.
Untuk teman-temanku yang perokok, jangan dianggap ini adalah serangan bagi kalian. Emang bener, ngerokok adalah pilihan pribadi. Tapi tetaplah menjadikannya sesuatu yang "pribadi" tanpa harus dibagi ke orang lain apalagi pake nyumpahin saya segala untuk jadi perokok berat...hehehe..sampe sekarang sumpahnya belom manjur tuh. Masih kalah efeknya sama sumpah pemuda.
No comments:
Post a Comment