Thursday, 30 August 2007

PARIS SYNDROME, PENYAKIT KEJIWAAN BARU YANG BANYAK DIDERITA ORANG JEPANG YANG TINGGAL DI PARIS



Stereotype Paris sebagai kota cahaya, kota mode atau kota cinta, telah menarik banyak sekali orang Jepang untuk mengunjungi atau menetap di Paris, dengan expectasi yang berbeda-beda. Namun semuanya banyak yang berdasarkan pada stereotype Paris semata, yang belum tentu benar adanya.


Banyak diantara mereka adalah turis, atau memang bekerja di sini. Mayoritas dari mereka, awalnya datang sebagai turis, tahun berikutnya mereka kembali dengan berbekal visa pelajar guna menetap lebih lama di Paris. Bidang yang mereka pelajari, rata-rata dimulai dengan kuliah bahasa di Paris selama minimal setahun, sehingga selama itu mereka bisa merasakan bagaimana rasanya jadi penduduk Paris dan mengenal life style lokal. Kalau visa belajar bahasa sudah melampaui batas waktu (3 tahun), mereka melanjutkannya ke bidang lain, seperti mendaftar di sekolah tinggi seni, atau lain sebagainya.

Banyak juga diantara mereka yang kemari ingin melakukan magang di restaurant atau patiserie dari koki terkenal, untuk mempelajari teknik-teknik yang berbeda dengan yang mereka pelajari di Jepang. Tidak hanya di sektor makanan, tapi juga di sektor mode, seperti penataan rambut, maupun sektor bunga-bungaan. Mereka mencari mode baru selain model rambut anime style, atau model karangan bunga yang lain daripada Ikebana Jepang yang Zen. Dan mereka mencarinya di Eropa, yang menurut mereka tempat lahirnya mode dan kebudayaan dengan style rafiné atau refined. Harapan mereka adalah mengawinkan style dua budaya yang berbeda tersebut, (bisa jadi hanya mengadopsi style Eropa), sehingga ketika mereka pulang ke Jepang nanti, mereka bisa bangga mengatakan, mereka sudah pernah tinggal di Eropa selama setahun (punya european experienced-lah isitilahnya). Pengalaman Eropa mereka bisa mereka jadikan bekal dalam mencari kerja, maupun buka usaha sendiri.



Ketika mereka memutuskan untuk menetap di Paris, umumnya tidak memiliki bayangan akan apa yang akan mereka hadapi di Paris. Image akan Paris yang dibangun berdasarkan stereotype semu akan Paris yang romantis dan modist ternyata sangat jauh berbeda di dunia aslinya. Romantis? Romantis apanya? Di mana? Bayangan di kepala orang Jepang, bahwa setiap orang di Paris romantis dan berpakaian Chanel atau Louis Vuitton lenyap begitu saja ketika mereka berada di dalam metro yang kotor, dimana orang-orang berpakaian dengan seenak jidat (apalagi kalau musim panas). Modis? Modis apanya kalau pake baju, baju dalemannya ikut nyembul ke luar? Yang ada bukan kesan classy, tapi malah kesan trashy yang didapat. Belum lagi perlakuan cuek, kasar, individualis orang-orang Perancis yang mereka terima, bikin bayangan Paris yang wah makin hancur lebur.

Ternyata, Paris (atau Perancis, orang sering menyamaratakan Paris dengan Perancis, padahal keduanya lain banget) yang termasuk kota wisata terbaik di dunia, penduduknya tidak ramah, tidak welcome dan tukang grumble-grumble. Ternyata oh ternyata....

Rasa kecewa akan realita Paris, membuat banyak penduduk Jepang ini menjadi larut dalam kesedihan, dan tidak jarang yang bermanifestasi menjadi depressi atau pun kegilaan. Dan menurut keterangan yang saya dapet, belum ada orang lain selain orang Jepang yang menderita penyakit ini (belom kedeteksi aja mungkin). Penyakit kejiwaan ini ini pertama kali ditemukan pada tahun 2004 oleh seorang dokter di Paris (lupa namanya siapa), dan diberi nama Paris Syndrome.

Menurut Routard.com, guide semacam Lonely Planetnya perancis, setiap tahunnya sekitar 100 orang Jepang terkena penyakit ini. Gejalanya bisa macam-macam, yaitu pusing-pusing, sakit kepala dan lain sebagainya (wah, gue kurang jelas juga di bagian ini) sampai depresi maupun berhalusinasi. Sepertiganya, bisa dengan segera disembuhkan. Namun ada juga yang harus dirumahsakitkan (25 persen), atau dipulangkan ke Jepang, dengan bantuan embassy Jepang di Paris.

Diantara mereka yang gila, ada seorang ibu-ibu yang merasa bahwa dia mau kopdaran dengan Virgin Marie, di depan gereja Notre Dame de Paris setiap jam 16 (hehehe.. psiko abis, mending kopdaran ama mp-ers aja deh!) . Ada pria yang merasa bahwa dia adalah raja Louis XIV. Ada juga yang ngerasa kalau hotelnya dibajak, atau merasa dirinya diserang oleh micro-wave.

Menurut seorang pengamat psikologi, halusinasi ini sebetulnya disebabkan oleh suatu keadaan yang meletup-letup ketika mereka berkunjung ke Paris. Ada detak jantung yang naik, pusing hingga ingin pingsan, yang akhirnya bisa menyebabkan seseorang berhalusinasi.

Obat terhadap penyakit ini belum ditemukan, karena gak mungkin membuat orang-orang Perancis menjadi lebih ramah (udah bawaan orok sih!). Para psikolog dalam terapi mereka terhadap pasien sindroma ini, sepertinya (sepertinya loh! hehehe..), mungkin (!) mengatakan bahwa percuma ngomel-ngomel benci sama orang Perancis, karena walaupun orang Perancis tau kalo mereka menyebalkan, tukang ngeluh, mereka cuek dan gak akan pernah berubah. Talk about the arrogance of the frenchs, what can we do? I bet they will just give you the parisian shrug as the answer. Psikolog hanya bisa mewanti-wanti, agar para nipons ini ikut-ikutan cara orang perancis dalam berlaku: kalau dikasarin, ya kasarin balik, jadilah tukang ngeluh, individualist dan gak pedulian!

Kalo menurut saya, perlu juga disebar-sebarkan ke setiap orang kalau stereotype itu gak selamanya benar adanya. Apakah perlu dikasih selebaran: JANGAN DATANG KE PARIS, ORANGNYA SOTOY-SOTOY LOH? Toh orang Paris atau Perancis gak akan peduli juga kalo mereka kita teriakin ngocol or senga sampe mulut kita berbusa juga. Mereka sadar kalo mereka senga, tapi ya cuek bebek aja, mereka gak pernah punya pemikiran untuk mengubah diri mereka sendiri dalam bersikap, apalagi dengan orang asing (sesama orang Perancisnya sendiri mereka juga gak ramah kok).

Jadi ya benar apa kata psikolog, pola pikir kita yang harus berubah, bukannya mengharapkan keadaan (mereka) untuk berubah. Buang karakter asal atau mental yang di bawa dari negara kita, untuk bisa membaur dengan budaya lokal. Ini namanya adaptasi. Ngomel-ngomel atau bete tentang ketidakramahan orang lokal cuman buang-buang waktu dan energie. Jadi ingat, suami saya dulu selalu menghibur saya, bahwa ketidakramahan orang Paris itu bukan disebabkan oleh judgemental warna kulit saya yang berbeda. Toh di Paris banyak orang dengan kulit berwarna. Mereka tidak akan pernah tahu bahwa saya bukan orang lokal, kalau cuman melihat sekilas. Jadi ketidakramahan mereka itu ya emang sudah begitu dari sananya, saya yang harus deal with it and move on, karena suami juga kerap mengalami perlakuan yang kurang enak di Paris.

Tapi tetep aja, sepertinya stereotype semu tentang Paris kota romantis, mode, gak akan dengan mudah dihilangkan. Paris will always be Paris, dengan segala borok-borok dan keindahannya. Dan yang penting, Paris bakal tetep punya Louis Vuitton, salah satu magnet terkuat bagi orang-orang Jepang.


Nah foto-foto di halaman ini adalah sebagai sedikit gambaran banyaknya orang Jepang yang ingin menetap di Paris (foto-foto diambil ketika ada lunch di rumah teman Jepang, dan pesta kelas bahasa semester II di La Catho - Paris). Kami mungkin hampir menderita Paris Syndrome, dan kemudian kami belajar untuk memiliki kelakuan sama gelonya kayak orang Perancis =)))))


No comments: